Blogger Jateng

Sejarah Tumpeng dalam Tradisi Islam

 


Asal Usul Tumpeng

Tumpeng adalah hidangan nasi berbentuk kerucut yang biasa disajikan bersama lauk-pauk di sekelilingnya. Kata tumpeng diyakini berasal dari akronim bahasa Jawa yen metu kudu mempeng, yang berarti “jika keluar harus sungguh-sungguh.” Secara tradisi Jawa, bentuk kerucut tumpeng melambangkan gunung yang dianggap suci, sebagai simbol hubungan manusia dengan Sang Pencipta.

 

Namun, seiring masuknya Islam ke Nusantara, khususnya melalui para Wali Songo, tumpeng mengalami pergeseran makna. Para wali tidak serta-merta menghapus budaya lokal, tetapi meluruskan dan memberi sentuhan Islami agar tetap dapat diterima oleh masyarakat.

 

Islamisasi Tumpeng oleh Wali Songo

Wali Songo menggunakan pendekatan budaya untuk menyebarkan dakwah Islam di tanah Jawa. Salah satunya dengan meluruskan filosofi tumpeng yang sebelumnya erat dengan kepercayaan Hindu-Buddha.

 

Dalam tradisi Islam, tumpeng kemudian dipahami sebagai simbol:

  • Kerucut tumpeng: melambangkan ketakwaan manusia yang selalu “menjulang” menuju Allah SWT.
  • Nasi putih: melambangkan kesucian hati dan niat yang ikhlas dalam beribadah.
  • Lauk-pauk yang melingkar: menggambarkan kebersamaan, rezeki yang halal, serta keberagaman ciptaan Allah yang bisa dinikmati manusia.

 

Dengan makna baru tersebut, tumpeng menjadi bagian dari dakwah kultural yang selaras dengan ajaran Islam tanpa harus meniadakan budaya lokal.

 

Tumpeng dalam Tradisi Islam

Dalam perkembangannya, tumpeng banyak dipakai dalam berbagai acara keagamaan Islam, antara lain:

  • Maulid Nabi Muhammad SAW – masyarakat menyajikan tumpeng sebagai bentuk syukur dan peringatan atas kelahiran Nabi.
  • Tasyakuran – baik kelahiran anak, khitanan, pernikahan, hingga syukuran rumah baru, tumpeng menjadi simbol rasa syukur kepada Allah.
  • Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) – seperti Isra’ Mi’raj atau Tahun Baru Hijriah, tumpeng juga disajikan untuk mempererat silaturahmi.

 

Filosofi Kebersamaan dan Syukur

Selain nilai spiritual, tumpeng juga menanamkan filosofi kebersamaan. Dalam setiap penyajiannya, tumpeng tidak dimakan sendiri, tetapi dinikmati bersama-sama. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan ukhuwah (persaudaraan), saling berbagi, dan memperkuat tali silaturahmi.

 

Sejarah tumpeng dalam tradisi Islam menunjukkan bagaimana dakwah para wali mengedepankan kearifan lokal. Alih-alih menolak budaya Jawa, Islam justru memberi makna baru yang lebih tauhid dan sesuai dengan syariat. Hingga kini, tumpeng masih lestari sebagai simbol syukur, doa, dan kebersamaan umat Islam di Nusantara.

 

Post a Comment for "Sejarah Tumpeng dalam Tradisi Islam"